Tuesday, November 4, 2025

Cerita 4

Teh yang Bosan Jadi Menenangkan

Seri Cerita yang Tidak Terlalu Penting Tapi (Semoga) Sulit Dilupakan 


Setiap pagi, secangkir teh melati diseduh untuk memulai hari sebelum menghadapi rutinitas dunia. Suara air panas mendesis, wangi melati naik perlahan, dan teh pun mulai bekerja, menenangkan, lagi dan lagi.


Awalnya ia bangga. “Lihat, orang itu bahkan belum sempat bicara, aku sudah membuat bahunya turun,” katanya pada sendok. Tapi lama-lama, teh mulai merasa jenuh.

“Apa aku tidak bisa jadi sesuatu yang bikin jantung berdebar dan bersemangat, seperti espresso?” keluhnya suatu pagi.

“Atau sesuatu yang membuat orang termenung dalam seperti wine? Aku bosan disebut menenangkan. Itu terdengar membosankan, seperti tidak punya kejutan.”

Sendok berputar malas di dalam cangkir. “Yah, tapi tanpa kamu, dunia bisa ribut terus,” ujarnya santai.

Teh mendengus pelan, tapi diam-diam ia berpikir, benarkah dunia butuh ketenangan sebanyak itu?

Hari berganti, pemiliknya makin sibuk. Pagi jadi siang tanpa sarapan, malam jadi dini hari tanpa jeda.

Teh jarang diseduh lagi.

Ia dibiarkan di rak, melihat cangkir-cangkir lain terisi kopi pekat, soda berkarbonasi, minuman-minuman yang katanya lebih “hidup”.

Sampai suatu malam yang panjang, seseorang membuka toplesnya dengan mata sembab.
Air panas dituangkan, wangi melati naik lagi, dan tangan yang gemetar itu akhirnya berhenti gemetar.

“Untung ada kamu,” bisiknya, “kalau tidak, mungkin aku sudah meledak.”

Teh terdiam. Hangatnya menjalar pelan, seperti jawaban yang tidak perlu diucapkan.
Ternyata menjadi tenang bukan berarti membosankan. Kadang, justru itu cara paling berani untuk tetap hidup di dunia yang terus berisik.

Ia menatap uapnya sendiri di udara, tersenyum, lalu berbisik ke sendok, “Hei, Sendok, kalau suatu hari aku mengeluh lagi dan ingin membuat orang berdebar, tolong ingatkan aku, aku ini teh, bukan drama.”

No comments:

Post a Comment