Seri Cerita yang Tidak Terlalu Penting Tapi (Semoga) Sulit Dilupakan
Di tepi hutan yang sunyi, hiduplah seekor burung hantu bernama Owi.
Setiap malam, Owi duduk di ranting tinggi sambil mendengarkan suara hutan, jangkrik yang bernyanyi, katak yang bersahut-sahutan, dan burung malam yang berkicau lembut di kejauhan.
Owi menghela napas.
“Semua bisa bernyanyi, kecuali aku,” gumamnya pelan.
Malam berikutnya, Owi menemui Burung Kutilang, penyanyi terbaik di hutan.
“Kutilang, ajari aku bernyanyi seperti kamu, dong.”
Kutilang tersenyum ramah. “Boleh, tapi jangan meniru suaraku ya, Owi. Nyanyilah dengan caramu sendiri.”
Owi pun mencoba lagi. Ia menutup mata, menenangkan diri, lalu bersuara perlahan, “huu... huu...”.
Kali ini, suaranya terdengar dalam dan berirama.
Tiba-tiba, Jangkrik ikut menimpali, “krik-krik-krik!”
Katak di kolam kecil menyahut, “krok-krok!”
Burung Pipit yang belum tidur menambahkan nada tinggi, “cuit-cuit!”
Lalu Kelelawar kecil bergabung dengan bunyi “ciiiiittttt!”
Suara mereka saling bersahutan, saling mengisi, rendah, sedang, tinggi, semuanya berpadu jadi lagu malam yang indah.
Owi tersenyum lebar.
“Ternyata, aku tak perlu bernyanyi sendirian,” katanya bahagia.
Sejak malam itu, mereka menamakan diri Grup A Capella Hutan Teduh. Owi dengan nada bass-nya, Katak si pengatur ritme, Pipit si nada tinggi, Jangkrik si ketukan lembut, dan Kelelawar si suara siul.
Setiap malam, suara mereka bergabung menjadi satu, berbeda-beda, tapi saling melengkapi.
Dan Owi akhirnya tahu, bahwa bernyanyi bukan tentang siapa yang paling merdu, tapi tentang siapa yang mau berbagi suara.

No comments:
Post a Comment