Sunday, November 16, 2025

Cerita Kenangan 6: Chanticleer dan Matahari

Seri Cerita dari Majalah Bobo yang Menempel di Kepala


Setiap pagi, tepat sebelum fajar, ayam jantan bernama Chanticleer berdiri di pagar kayu di depan kandang. Ia mengembangkan sayapnya, menarik napas panjang, dan berkokok lantang, “Kukuruyuuuk! Lihatlah! Aku telah membangunkan matahari lagi!”

Semua ayam betina bertepuk sayap, anak-anak bebek menatap kagum, dan bahkan kambing di halaman sebelah mengangguk sopan.


Tapi di atas meja dapur, jam weker tua yang berdenting setiap pukul empat menggeleng pelan.

“Hei Chanticleer,” katanya, “aku sudah berbunyi duluan sebelum kau sempat mengepak sayapmu.”

Chanticleer tertawa sombong. “Ah, kau hanya mainan manusia! Kalau aku tidak berkokok, matahari tak akan terbit. Dunia akan gelap selamanya!”

Hari-hari berlalu, dan kesombongan Chanticleer makin menjadi. Ia memutuskan ingin membuktikan ucapannya. Maka suatu pagi, ia mengepak sayap tinggi-tinggi, terbang mengejar matahari yang baru terbit.

Semakin tinggi ia terbang, udara makin panas. “Sedikit lagi,” katanya, “sedikit lagi dan aku akan mencium pipi matahari!”

Tapi cahaya matahari terlalu menyilaukan. Sayapnya terbakar ujungnya, dan ia jatuh berputar-putar hingga mendarat di atas jerami dengan wajah hangus dan bulu berantakan.

Jam weker menatapnya dengan bijak. “Sekarang kau tahu, Chanticleer. Matahari tak menunggu siapa pun. Ia terbit karena waktunya tiba, bukan karena teriakan siapa.”

Sejak hari itu, Chanticleer masih berkokok setiap pagi, tapi dengan nada yang lebih rendah, lebih lembut, seolah ia sedang berterima kasih pada matahari, bukan menyombonginya.

Dan kadang, ketika jam weker berbunyi duluan, Chanticleer tersenyum kecil dan berkata, “Baiklah, kali ini kau yang duluan, sahabatku.”


Sumber gambar https://id.pinterest.com/pin/25473554137759511/

No comments:

Post a Comment