Saya cinta buku.
Sejak saya belum bisa baca saya sudah cinta buku. Kalau dulu waktu kecil masih terbatas cerpen2 majalah Bobo, komik2, buku2 inpres dari sekolah, dan beberapa buku cerita anak, sekarang buku saya lebih beragam walopun itu berkisar ke novel2, ehm... kurang intelek memang.
Novel pertama yang saya baca sendiri hingga tamat bukanlah 5 Sekawan, Pippi Longbottom, Detektif STOP, buku2 Enid Blyton atau Edith Unnerstaad, bukaaan. Tapi bukunya Agatha Christie, walaupun perlu dibaca 2x per halaman kerena ga langsung mengerti. Inilah yang meracuni hidup saya hingga sekian lama bercita2 untuk jadi detektif, ketika sudah cukup besar (it means mau masuk SMA) mulai tau cita2 jadi detektif itu agak absurd (walaupun bisa dibilang mendingan kalo dibanding cita2 sebelumnya ingin jadi pemain trapeze di sirkus).
Ps: Isi tulisan ini tidak bermaksud pamer, tapi apa adanya. Bila ada yang menganggap saya pamer, itu hanyalah buah dari sifat suudzan Anda belaka.
Sejak saya belum bisa baca saya sudah cinta buku. Kalau dulu waktu kecil masih terbatas cerpen2 majalah Bobo, komik2, buku2 inpres dari sekolah, dan beberapa buku cerita anak, sekarang buku saya lebih beragam walopun itu berkisar ke novel2, ehm... kurang intelek memang.
Novel pertama yang saya baca sendiri hingga tamat bukanlah 5 Sekawan, Pippi Longbottom, Detektif STOP, buku2 Enid Blyton atau Edith Unnerstaad, bukaaan. Tapi bukunya Agatha Christie, walaupun perlu dibaca 2x per halaman kerena ga langsung mengerti. Inilah yang meracuni hidup saya hingga sekian lama bercita2 untuk jadi detektif, ketika sudah cukup besar (it means mau masuk SMA) mulai tau cita2 jadi detektif itu agak absurd (walaupun bisa dibilang mendingan kalo dibanding cita2 sebelumnya ingin jadi pemain trapeze di sirkus).
Sewaktu kecil, saya sempat mengoleksi beberapa hal seperti umumnya anak-anak (perempuan), seperti kertas surat, kertas kado, perangko, pinsil, barang2 apapun yang berwarna kuning, hadiah Happy Meal dari McDonalds. Semua saya kumpulkan dengan sengaja, membeli, menukar, membajak (biasanya punya kakak). Saya berusaha mendapatkan.
Tapi buku, bukanlah hal yang saya maksudkan menjadi koleksi. It just happened dan tau2 banyak. Hingga saat ini pun sebenarnya saya tidak pernah menganggap mengoleksi buku. Saya hanya menyimpan buku2 yang sudah saya beli dan saya baca (juga yang belum, heheh). Saya biasanya membeli tujuannya untuk membaca isinya, bukan memiliki barangnya. Tapi setelah punya barangnya, well....then I want to keep it.
Kalau kata KBBI, mengoleksi adalah:
mengoleksi/me·ngo·lek·si/ v mengumpulkan (menjadi satu); menjadikan barang-barang sbg koleksi
Saya mengumpulkan (walau tanpa sengaja) buku-buku ini menjadi satu, so it becomes, saya mengoleksi buku. Karena boleh dibilang ini kumpulan barang saya yang terbanyak jumlahnya.
Saya pernah bertanya kepada beberapa orang tentang gaji pertama mereka, tentang untuk membeli apa gaji pertama itu digunakan (selain yang ditabung)? Sebagian besar menjawab gadget, atau barang lain yang mereka idam2kan. Saya ingat persis, gaji pertama saya, saya belikan buku, lebih tepatnya beberapa buku. Tidak ada buku tertentu yang saya inginkan, tapi saat itu saya cuma ingin beli buku. Toko buku juga termasuk sanctuary saya, ketika saya sedih, kesal, happy, saya selalu ingin ke toko buku. Bagi saya romantic date juga adalah ke toko buku. Dulu, kalau ada orang yang bete karena saya ajak dating ke toko buku, I just know that he is not the one.
Buku disusun 2 saf depan belakang untuk menghemat space |
Ada 1 buku penulis Indonesia yang saya sangat tidak suka, mungkin juga geram bukan kepalang dengan ceritanya. Tapi buku ini banyak penggemarnya, buku ini adalah Ayat2 Cinta. Buku ini parah banget ga asiknya. Tapi ada satu hal yang membuat saya tetap menyimpan buku ini, karena saya baca katanya buku ini adalah mas kawin dari sang penulis untuk istrinya, dan saya pikir itu romantis. Jadi cerita di balik buku ini yang membuat saya masih menghormati Ayat-ayat Cinta, walaupun menurut saya ceritanya enggak banget.
Kalau ada orang tanya kekayaan saya apa, well.. bisa dibilang buku adalah kekayaan saya. Gadget? Ehm.. handphone saya saja yang dari tahun 2008 baru ganti awal tahun ini karena rusak. Kalau ga rusak kayanya juga belum ganti. Tidak punya properti, kendaraan, atau tabungan besar. None, nada, zero.
Kalau ada orang tanya kekayaan saya apa, well.. bisa dibilang buku adalah kekayaan saya. Gadget? Ehm.. handphone saya saja yang dari tahun 2008 baru ganti awal tahun ini karena rusak. Kalau ga rusak kayanya juga belum ganti. Tidak punya properti, kendaraan, atau tabungan besar. None, nada, zero.
Ga tau berapa jumlah persisnya jumlah buku yang saya punya, kira-kira 600an lah. Saya pikir, kalau diinventarisir, misal 1 buku harganya rata-rata 60,000 x 600 = Rp 36,000,000 sudah saya habiskan buat beli buku. Ternyata, saya kaya juga ya. Hahaha :))
Ps: Isi tulisan ini tidak bermaksud pamer, tapi apa adanya. Bila ada yang menganggap saya pamer, itu hanyalah buah dari sifat suudzan Anda belaka.
No comments:
Post a Comment