Ah.....I am so glad, buku terakhir yang dibaca adalah bukunya pengarang Indonesia. Rasanya agak ga asik gitu kalo nulis resensi di sini tapi bukan buku pengarang negeri sendiri. Jadi buku yang terakhir dibaca adalah:
Hirata, A., Ayah, 2015, Bentang Pustaka, Yogyakarta.
Sebelumnya, saya udah pernah baca 6 novel Andrea Hirata, yaitu [1] Laskar Pelangi, [2] Sang Pemimpi, [3] Edensor, [4] Maryamah Karpov, [5] Padang Bulan, [6] Cinta di dalam Gelas. Jadi novel Ayah ini adalah yang ke-7.
Kalo dibikin irisan, kesamaan atau ciri khas Andrea Hirata dengan ke-6 novel yang udah saya baca sebelumnya adalah kaya gini (tanpa menghitung kesamaan setting):
Overall, I quite enjoying reading Andrea Hirata. Maksudnya ya, untuk penulis Indonesia, dia masuk kumpulan penulis yang saya seneng2 aja bacanya, karena kadang ada penulis yang saya kadang seneng kadang ngga.
Andrea Hirata menurut saya adalah salah seorang penulis zaman sekarang yang masih punya sense of sastra, dia masih ada bahasa-bahasa yang sastrawi yang indah tapi simple (ada ga sih kata sastrawi?).
Ga pengen nulis apa novel ini adalah a must read one atau ngga, karena saya selalu yakin yang namanya buku sama juga dengan film atau musik atau pacar, itu adalah masalah selera dan kecocokan Bung, ga bisa dipaksain. (Walaupun suka merasa berduka cita kalo nemu seseorang yang selera bacaannya alay).
Anyway...for my own rate, saya bisa kasih novel ini rating 3,5 bintang. Ceritanya mengalir, ada dinamika emosinya, ada maju mundurnya, ada latar belakang culturenya, ada psikologinya, ada humornya, tapi yang kurang cuma rasa kebaruannya, ga ada yang mengejutkan gitu. Mungkin segala rasa euphoria culture Melayu Belitong dan kebaruan rasa bitter sweetnya itu udah habis dihisap Laskar Pelangi. Agak mirip masakan warteg ga sih, semua makanan bumbunya sama, tapi ya tetep enak-enak aja sih. Cuma aja variannya di bentuk dan nama masakan, bukan rasa. Beda dikitnya mungkin di menu yang itu banyakan garamnya, di yang ini banyakan mericanya dikit.
Walhasil, no more surprise atau shock dengan ending apapun, atau setelah baca yang masih terbengong2 masih belum move on dari buku, ga ada. Singkatnya, indah dan menyenangkan untuk disantap tapi ketika selesai ya selesai. Tapi juga ga yang jadi kesel trus merasa rugi karena udah beli, pada kenyataannya enjoyable kok bacanya.
Eh, btw....Ada satu kesan lain sama novel ini. Pernah nonton film Mitty ga? Nah, somehow...plotnya ngingetin sama Mitty, perjalanan setengah gila seseorang yang cenderung hiperbola untuk sesuatu yang berakhirnya sangat sederhana.
However, hidup itu emang kaya gitu kan ya?
Btw, kalo mau ngomongin buku2 lain, bisa klik ini and add me as your friend.
No comments:
Post a Comment