488 tahun yang lalu, Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, dan mengganti jadi Jayakarta. Walaupun tanggal pastinya kemenangan itu ga jelas, tapi secara administratif Jakarta memperingati hari ulang tahunnya tiap 22 Juni.
Apalah arti sebuah tanggal, nenek saya juga tidak tahu tanggal lahirnya secara Masehi. Cuma tahu dilahirkan di bulan Jumadilawal atau apa gitu (maaf saya lupa) di tahun sekian-sekian. Tanpa maskud tidak menghargai sejarah, tapi kadang, ada hal yang prinsip yang lebih penting daripada nomina. Seperti arti kemenangan Fatahillah terhadap bangsa daripada memperdebatkan tanggal ultah Jakarta.
Apalah arti sebuah tanggal, nenek saya juga tidak tahu tanggal lahirnya secara Masehi. Cuma tahu dilahirkan di bulan Jumadilawal atau apa gitu (maaf saya lupa) di tahun sekian-sekian. Tanpa maskud tidak menghargai sejarah, tapi kadang, ada hal yang prinsip yang lebih penting daripada nomina. Seperti arti kemenangan Fatahillah terhadap bangsa daripada memperdebatkan tanggal ultah Jakarta.
Ingatan awal saya tentang Jakarta adalah sebuah kota yang sering saya kunjungi dan kadang menginap lama ketika kakak-kakak saya liburan sekolah di Tasik (waktu itu saya belum sekolah).
Hazy Jakarta from the above - 1 ketika pesawat menjelang landing di CGK |
The city lights steal my heart easily. Hingga sekarang, selalu merasa terpana sama lampu kota Jakarta, cantik, tapi lonely. Saya resmi menjadi warga Jakarta sejak tahun 2007, meninggalkan privilege saya sebagai warga Kab Purwakarta. Alasannya sederhana, saya kerja disini tentu akan mempermudah administrasi kalau kewargaprovinsian saya di DKI. Juga, saya menikmati fasilitas Jakarta, kenapa saya tidak bayar pajak sebagai warga Jakarta juga?
Saya menyukai Jakarta adalah rasa familiarnya yang kuat, perasaan "Ah...finally I'm home" yang suka saya rasakan ketika landing dan melangkahkan kaki di Bandara Soekarno Hatta setelah perjalanan dinas, rasa familiar bahwa saya bisa menemukan segala yang saya butuhkan dengan mudah, rasa familiar karena sebagian besar orang-orang yang saya sayang ada di sini (keluarga, teman2), rasa familiar karena saya merasa nyaman menjadi saya sendiri, karena menjadi satu titik di antara beragam heterogenitas warga menjadi tidak penting, juga...sebagian besar keluarga (dan keluarga besar) saya ada di sini.
Hubungan saya dengan Jakarta mungkin mirip lagu Holy Grail-nya Justin Timberlake feat Jay-Z. Saya berada dalam garis cinta dan benci. Banyak....hal yang tidak saya sukai dari Jakarta (mungkin lebih tepat orang-orang di Jakarta), tapi saya pikir juga banyak cintanya. Itu sebabnya saya menjalin hubungan awet rajet -kata orang Sunda- dengan Jakarta.
Saya yang tumbuh besar di kota kecil, tahu persis ketika ada seseorang yang agak beda sedikit akan menjadi sorotan. Jakarta membiarkan orang bebas berekspresi. Masalahnya, setiap orang itu unik, setiap orang berbeda.
Pretty Jakarta from the above - 2 ketika pesawat menjelang landing di CGK |
Hal lain yang saya sukai adalah, akses transportasinya yang luar biasa. Saya merasa nyaman karena walaupun saya ada di salah satu sudut Jakarta, saya tetap bisa mengakses transportasi.
Saya ingat pengalaman sedih ketika saya entah bagaimana terdampar di daerah Kopo Bandung (salah naik angkot), dan saya bingung harus pulang. Saya tidak bisa mendapatkan taksi ataupun ojek selama berjam2. Padahal itu Bandung! Ibukota Jawa Barat. Hal ini yang saya tahu, tidak akan mungkin terjadi di Jakarta.
Menjadi seorang perenang arus derasnya Jakarta, memang akan ada banyak tantangan tanpa khawatir terhanyut. Perlu tenaga kuat untuk survive. Tapi tantangan itu juga bisa dibaca sama dengan peluang. Peluang untuk berkembang, menjadi diri sendiri, dan mengeluarkan segala kemampuan terbaik untuk mampu bertahan sesuai prinsip dan nilai diri. Jakarta memberi banyak peluang, termasuk peluang hanyut atau melawan, atau lebih baik lagi: beradaptasi!
Dearest Jakarta, untuk segala yang telah ditawakan dan diberikan, I will say Happy Birthday, Cheers!
suka banget sama peta masterplan Batavia ini |
No comments:
Post a Comment