ancala/an·ca·la/ kl n gunung
Saya ingin bicara tentang gunung.
Saya bukan tipe orang yang suka mendaki. Tapi kalau ada yang bertanya, “lebih suka pantai atau gunung?”, tanpa ragu saya akan menjawab, gunung. Saya suka udaranya yang sejuk, suasananya yang tenang, dan kehadirannya yang kokoh. Namun, membayangkan kesulitan saat mendaki, udara yang semakin menipis, tanah yang licin dan becek, langkah yang berat di bawah tekanan udara, tidak, saya tidak tertarik. Saya hanya ingin menikmati gunung dari jauh, dengan rasa tenang, seperti halaman buku yang dibuka dengan hati-hati.
Mungkin itu sebabnya saya juga suka membaca. Ada masa di mana saya sangat gemar membaca, bahkan setiap kali gajian, saya hampir selalu pulang dengan kantong penuh buku dari Gramedia. Saya jarang ke Gunung Agung, karena koleksinya tidak seberagam dan se-update Gramedia. Meski begitu, Toko Buku Gunung Agung tetap menarik, karena sering menawarkan pilihan buku-buku “aneh”, yang tidak biasa, kadang tak terduga. Di sana pula saya biasanya membeli pita mesin tik.
Kini, banyak toko buku mulai tutup. Termasuk beberapa gerai Gunung Agung yang dulu akrab. Katanya karena sepi pembeli. Mungkin benar. Mungkin juga karena orang-orang seperti saya, yang dulu rajin membaca, kini lebih sering menatap layar atau scrolling resep-resep kue.
Mata saya tidak lagi betah membaca huruf kecil, tangan lebih sering sibuk dengan urusan rumah, dan waktu bersama keluarga terasa lebih berharga daripada menamatkan satu bab. Membaca kini bukan lagi kebiasaan, tapi kemewahan yang jarang sempat disentuh.
Kadang saya berpikir, mungkin mencintai gunung dari jauh sama seperti mencintai membaca di usia yang tak lagi muda. Kita tahu keduanya menenangkan, tapi langkah menuju ke sana sudah tidak semudah dulu. Gunung tetap berdiri, buku-buku tetap menunggu, dan saya hanya bisa menatap dari bawah, dengan rindu yang pelan-pelan berubah jadi doa agar keduanya, dan diri saya sendiri, akan tetap membuka dan membaca halaman-halamannya.

No comments:
Post a Comment