"Mungkin untuk bahagia, kita hanya perlu berani duduk tenang di tengah hal-hal yang baik." — d
Kadang saya merasa heran, kenapa ya, menikmati kebahagiaan saja bisa terasa sulit?
Seolah sedang menunggu sesuatu yang buruk akan datang menggantikannya.
Mungkin karena dulunya terlalu sering harus berharap, terlalu lama harus kuat,
sampai lupa rasanya hidup tanpa rasa waspada.
Sekarang, ketika semua sudah lebih tenang, jadinya malah kikuk.
Ada rasa canggung, seperti tamu yang tidak tahu harus duduk di mana dalam rumah sendiri.
Lucu juga, ternyata untuk merasa bahagia pun butuh latihan.
Perlu belajar pelan-pelan.
Belajar mempercayai bahwa yang baik boleh bertahan.
Bahwa kebahagiaan tidak selalu datang untuk diuji,
tapi kadang hanya ingin dirasakan.
Hari ini cobalah duduk tenang, menarik napas,
dan membiarkan hati sedikit lebih relaks pada hal-hal yang baik.
Tidak apa-apa kalau belum sepenuhnya percaya.
Mungkin memang begini caranya, perlahan-lahan, sampai bahagia terasa seperti rumah.
Belajar Mempercayai Rasa Aman
Rasa aman bukan sesuatu yang datang tiba-tiba.
Ia tumbuh pelan-pelan, seperti tanaman yang perlu waktu untuk berakar di tanah yang dulu kering.
Kadang masih ada rasa takut kehilangan, seolah kebahagiaan adalah hal rapuh dan bisa hilang kapan saja.
Tapi mungkin, rasa aman itu tidak datang dari keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi dari kepercayaan bahwa kita akan bisa melewati apa pun yang datang.
Hingga, ketika akhirnya memiliki sesuatu yang dulu hanya bisa didoakan dengan sayup, malah memberi merasa gugup. Bukan karena tidak bahagia, tapi karena hati belum terbiasa untuk tenang.
Sekarang, belajarlah menaruh sedikit kepercayaan.
Bahwa tidak harus terus berjaga, terus waspada.
Bahwa boleh kok beristirahat di dalam santai, dan membiarkan kehangatan kecil, percakapan sederhana, tawa ringan, sentuhan yang tulus menjadi bukti bahwa semuanya aman.
Kemudian perlahan, bisa mengenali rasa aman bukan sebagai sesuatu yang menakutkan,
tapi sebagai rumah yang boleh ditempati.
Ada banyak jenis rasa takut di dunia ini, takut dikasihani salah satunya. Rasa takut itu bisa sangat halus dan berbahaya. Ia membuat selalu waspada terhadap penilaian orang, seolah setiap kerapuhan bisa disalahartikan sebagai kelemahan.
Dan tanpa sadar, orang akan menjadi terlalu sibuk menjaga untuk selalu terlihat kuat sampai lupa menikmati hal-hal kecil, the morning light, a warm cup of tea, a good laugh that doesn’t have to prove anything. Lupa merasa layak untuk menikmati kebahagiaan.
It’s exhausting sometimes, this invisible performance of strength.
There’s a quiet fight in being so self-sufficient.
Because when you’re too afraid to be pitied, you also forget how to be held, how to be seen softly.
Maybe being strong isn’t about proving you don’t need help.
Maybe it’s about learning to stay open, even when you're afraid of being misunderstood.
Maybe real strength is to let a good life touch you, gently, without defense.
Hari ini usahakan berhenti sejenak dan hanya…hadir.
Tanpa menunggu hal buruk, tanpa menimbang apa yang pantas atau tidak.
Dulu, setiap kali kebahagiaan datang, refleks bertanya dalam hati, “Benaran ga sih?”
Seolah kebahagiaan adalah hadiah yang harus ditebus dengan penderitaan panjang terlebih dahulu.
Tapi sekarang coba cara lain, menerimanya apa adanya, tanpa syarat.
Bukan karena merasa sudah layak, tapi karena setiap hati berhak untuk tenang.
Sekarang mulai mengerti, kebahagiaan bukan berarti semua luka hilang.
Ia justru datang saat bisa tersenyum bersama luka itu, menyadari bahwa rasa sakit yang dulu, telah membuka ruang bagi hal baik hari ini.
Jadi hari ini, tidak usah menganalisis apa pun.
Duduk saja bersama seseorang yang dicintai, mendengarkan napas dalam ritme yang sama, dan meyakini, "Di sinilah perjalanan panjang itu bermuara, bukan di akhir perjuangan, tapi di awal kedamaian."
Menertawakan Hidup
“I used to think happiness was fragile, like if I laughed too loud, life would take it back.”
Kadang hidup ini punya selera humor yang aneh.
Begitu mulai bahagia, biasanya suka ada suara kecil di kepala bilang, “Eh, jangan senang dulu. Ini pasti jebakan.”
Lucunya, kita percaya. Jadi kita belajar tertawa setengah nada dan berharap semesta tidak sadar.
Sebenarnya, terlalu dramatis gak sih?
Mungkin kebahagiaan itu tidak serapuh itu, dia bukan balon yang bisa meletus hanya karena kita bernapas terlalu dalam.
Mungkin dia lebih seperti tanaman liar di pot kecil: tumbuh di mana-mana, asal tidak disirami dengan overthinking.
Yang paling lucu adalah,
Sometimes we spent years mastering the art of emotional disaster prevention, checking every possible reason why things might go wrong, as if anxiety were a full-time job with pension and benefits.
But today, just… laughed.
At yourself, at your fears, at how seriously you took everything, including the idea that joy needs permission.
Maybe life isn’t testing us. Maybe it’s just waiting for us to stop proofreading our happiness and start living it.
No comments:
Post a Comment