Thursday, February 1, 2024

Asmaraloka

asmaraloka /as.ma.ra.lo.ka/ n kl dunia (alam) cinta kasih

Etimologi: [Sanskerta स्मर smara 'pikiran, memori, ingatan; cinta; hasrat seksual' dan लोक loka 'wilayah, ruang, tempat, distrik, komunitas, negara, dunia, alam semesta']

Dari sekian banyak buku roman klasik, saya paling suka Pride and Prejudice-nya Jane Austen. Buku ini telah diangkat ke layar kaca dalam berbagai bentuk, film hingga mini seri. Versi terbaik menurut saya adalah yang BBC miniseries, tidak terlalu panjang, juga tidak sebentar, mengalir, dan memberi ruang bagi tiap karakter untuk tumbuh perlahan. Saya menontonnya berkali-kali, tanpa pernah bosan. Dialognya, wardrobenya, castnya, terutama settingnya. Gooooood....semuanya. Yum! Saking sukanya, Pride and Prejudice dan buku-buku Jane Austen lainnya menjadi bagian dari seserahan pernikahan saya, semacam simbol kecil tentang cinta yang cerdas, berlapis, dan berprinsip.

Cerita Pride and Prejudice sendiri sederhana tapi sarat makna, tentang Elizabeth Bennet, perempuan muda yang berpikiran bebas dan berlidah tajam, serta Mr. Darcy, pria kaya raya yang kaku dan tampak angkuh. Dua orang ini sama-sama cerdas, sama-sama keras kepala, dan sama-sama salah menilai satu sama lain di awal. Tapi seiring waktu, kesalahpahaman itu justru menyingkap hal-hal paling dalam dari diri mereka, kebanggaan yang harus ditundukkan, dan prasangka yang harus dilunakkan.

Saya kira, alasan saya begitu menyukai cerita ini bukan semata karena romansa antara Lizzy dan Darcy, tapi karena dinamika pertumbuhan batin di dalamnya. Cinta mereka tidak datang tiba-tiba, namun dibangun lewat proses mengenali kesalahan, memperbaiki diri, dan belajar melihat orang lain dengan lebih jernih. Tidak ada gemerlap atau drama berlebihan, hanya dua jiwa yang tumbuh bersisian, saling mencerminkan kekurangan satu sama lain.

Mungkin karena itu cerita ini terasa dekat dengan saya. Saya cenderung menghargai hubungan yang berakar pada saling hormat, bukan sekadar rasa suka yang manis di permukaan. Saya juga bisa memahami Lizzy, cara ia menimbang harga diri, rasionalitas, dan perasaan. Ia bukan tokoh yang sempurna, tapi ia berani berpikir dan merasa dengan sadar, bukan bucin.

Mungkin di situlah yang membuat tulisan Jane Austen ini terasa keren, pada zamannya ia mampu menulis kisah cinta yang tidak menenggelamkan perempuan di dalam romansa, tapi justru membuatnya semakin mengenali dirinya sendiri. Dan saya rasa, untuk sesorang yang seperti saya, yang lebih menyukai kedalaman daripada cinta yang gegap gempita, mempercayai cinta yang tumbuh secara sadar itu jauh lebih abadi daripada cinta yang datang menggebu-gebu.

No comments:

Post a Comment