Atma /at.ma/
Etimologi: [Sanskerta आत्मन् ātman n m 'jiwa, nyawa, roh']
Suatu malam circa 2014, saya sedang menginap di apartemen teman saya di KL tapi warga negara Australia, saat itu saya duduk-duduk manis sambil nonton TV, sementara teman saya sedang sibuk di dapur. Tidak banyak pilihan channel yang menarik, akhirnya saya menonton saluran berita BBC Australia, yang bahasanya bisa saya pahami. Beritanya, pemerintah Australia sedang membuat program untuk mental health dan ageing secara serius. Entah kenapa, walaupun bukan berita bencana alam atau bombastis lainnya, berita ini benar-benar membuat saya terhenyak, karena pemerintah Indonesia masih berfokus pada penyakit menular, tapi di Australia sudah sangat fokus pada mental wellbeing, sesuatu yang belum dianggap penting di Indonesia.
Saya konfirmasikan pada teman saya yang WN Australia, yang kebetulan dia memiki latar belakang psikologi juga. Dia bilang, pemerintah Australia memang memberi perhatian terhadap isu ini sejak lama. Saat dia fresh graduate (eh, atau ketika dia masih kuliah ya? Saya lupa persisnya), pokoknya dia bilang dia pernah menjadi relawan hotline service untuk bunuh diri. Dia menggambarkan "It was a very depressive work, turns out many people were in depression or thinking to suicide, especially during the full moon." Entah apa korelasinya, dia juga tidak tahu.
Sejak saat itu hal ini mulai meresap dan berputar-putar di kepala saya, kenapa pemerintah Australia sampai sebegitu seriusnya, fokus menggarap program ini dan menggelontorkan dana yang besar untuk ini? Seberapa serius hal ini sebenarnya?
Waktu pun berlalu, isu mental wellbeing mulai naik ke permukaan, banyak public figure speak up, organisasi-organisasi non pemerintah menjadikan ini program utama mereka, dan pemerintah juga semakin memberi perhatian pada kesejahteraan mental. Terlebih untuk Gen Z, yang sangat jago menjaga work life balance dan memiliki literasi digital yang baik, kampanye kesejahteraan mental semakin meningkat.
Akhirnya, dengan makin banyaknya referensi literasi, saya juga sedikit-sedikit makin mengenal berbagai ragam psikososial, atau orang biasanya bilang...gangguan mental.
Sebenarnya, gangguan mental bisa dialami siapa saja, tanpa memandang usia, latar belakang, atau profesi. Kadang gejalanya samar, seperti kelelahan, sulit tidur, atau kehilangan semangat, sampai kemudian kita sendiri ga sadar sedang berjuang melawan sesuatu yang lebih dari sekadar “lelah” atau “stres.” Padahal, gangguan mental perlu dikenali sejak awal agar tidak semakin dalam melukai diri, pikiran, dan kehidupan sehari-hari yang saya sarikan dari sini.
1. Depresi.
Depresi bukan sekadar sedih yang datang dan pergi. Ia bisa membuat seseorang kehilangan rasa terhadap hal-hal yang dulu dicintainya, kehilangan arah, bahkan merasa tidak ada gunanya hidup. Banyak hal bisa jadi pemicu, kehilangan orang yang disayangi, tekanan hidup, atau penyakit yang tidak kunjung sembuh. Jika kamu merasa tenggelam terlalu lama dalam perasaan berat ini, sudah warning untuk meminta bantuan profesional, jangan menanggungnya sendirian.
2. Gangguan Kecemasan.
Rasa cemas sebenarnya wajar, tapi kalau rasa cemas terus menguasai hingga membuat dada sesak tanpa sebab yang jelas, itu pertanda lain. Kadang muncul dalam bentuk serangan panik, rasa takut berlebihan di keramaian, atau pikiran yang tak mau diam. Tubuh ikut lelah, jantung berdebar, otot tegang, napas terasa berat. Kecemasan bisa diatasi, tapi butuh keberanian untuk mengakuinya dan mencari bantuan.
3. Gangguan Bipolar.
Hidup dengan bipolar seperti naik roller coaster emosi, naik sangat tinggi lalu jatuh sedalam-dalamnya. Ada masa di mana seseorang merasa tak terkalahkan, penuh energi, lalu tiba-tiba kehilangan arah dan tenaga. Fase-fase ini bisa membingungkan, tapi dengan terapi dan pengobatan yang tepat, banyak orang bisa kembali menata hidup dengan lebih seimbang.
4. Skizofrenia.
Skizofrenia bukan sekadar “gila” seperti yang sering disalahartikan. Orang dengan skizo hidup dalam realitas yang berlapis, mendengar atau melihat hal yang tidak nyata, sulit membedakan mana pikiran dan mana kenyataan. Kondisi ini berat, tapi bukan tanpa harapan. Dukungan keluarga dan pengobatan jangka panjang bisa membantu mereka menjalani hidup dengan lebih tenang.
5. Gangguan Makan.
Bagi sebagian orang, makan bukan sekadar urusan perut, tapi juga tentang kontrol, citra diri, dan rasa cemas. Ada yang menolak makan karena takut gemuk (anoreksia), ada yang makan banyak lalu memuntahkannya kembali (bulimia), dan ada yang terus makan tanpa kendali saat emosi tak tertahankan (binge eating). Semua itu bukan soal kurang kuat menahan diri, tapi jeritan tubuh dan pikiran yang butuh pertolongan.
6. Gangguan Obsesif Kompulsif (OCD).
Bayangkan pikiran yang terus mengulang hal yang sama, seolah tak memberi ruang tenang, takut kotor, takut lupa mengunci pintu, takut salah langkah. Akhirnya, penderita merasa harus melakukan ritual tertentu berkali-kali agar pikirannya tenang. OCD bisa sangat melelahkan, tapi terapi perilaku dan dukungan lingkungan bisa membantu seseorang mengendalikan hidupnya kembali.
7. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Beberapa luka tak selalu terlihat. PTSD muncul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengguncang, seperti kekerasan, bencana, atau kehilangan besar. Bayangan masa lalu terus datang, membuat tidur tak nyenyak dan hidup terasa penuh kewaspadaan. Tapi trauma tidak harus jadi selamanya. Dengan terapi dan dukungan, luka itu bisa perlahan sembuh.
Sebenarnya, untuk tahu lebih banyak ragam-ragam ini bisa baca Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5), 2013, yang merupakan update dari the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, sebuah tool taksonomi dan diagnostik dari American Psychiatric Association (APA). Yes, akhirnya buku berat ini pun menjadi bagian dari bacaan saya yang biasanya genre fantasi melulu. Sekali-sekali baca yang scientific lah ya dan ternyata seru juga bacanya. Beneran!
No comments:
Post a Comment