Apa yang ingin dibuktikan dari menulis? Kenapa saya harus menulis?
Pernah ada masa dimana segala rasa dalam diri tertumpah dalam bentuk jalinan kata, hingga masa itu tergantikan oleh hal-hal yang lebih konkrit, tindakan, perbuatan dan kegiatan sehari-hari yang lebih nyata. Masa dimana hurup demi hurup yang biasanya saya kecap perlahan seperti meresapi rasa makanan di mulut, membuat bahagia.
Seberapa literasi saya? Well, saya tidak tahu bagaimana mengukurnya. Yang jelas, saya sudah mampu membaca dengan baik di saat kebanyakan anak-anak seumur saya belum lancar membaca. Seingat saya, majalah Bobo sudah ada sejak entah kapan di rumah saya, sejak pra TK mungkin, karena saya punya dua kakak, karena kamu tahu kan kawan, selain pakaian, kebiasaan juga bisa diwariskan oleh para kakak. Saya ingat, dulu saat saya belum bisa membaca, saya akan memohon dengan sangat untuk dibacakan cergam majalah Bobo oleh ibu yang sedang sibuk dengan urusan domestik. Saya si bocah yang tidak sabar pun mampu bersabar menanti hingga ibu selesai memasak, daripada tidak. Ya kan? Saya juga ingat rasa semangat dan rindu di setiap Kamis sore, menanti Bapak pulang dari kantor sambil membawa majalah Bobo edisi terbaru. Ah, sepertinya itulah awalnya kenapa saya punya hobi aneh mengendus aroma buku yang baru dibuka dari segelnya, sedaaap.
Saya rasa, kesukaan saya terhadap Bahasa digara-garai Ibu saya. Ibu yang mengajari saya membalik halaman dengan lembut, tanpa menimbulkan kusut. Ibu dengan semangat mengajarkan imbuhan, atau mencarikan arti kata asing yang saya temui di buku, lalu mencarinya bersama-sama dalam kamus Bahasa Indonesia, ibu juga hobi mengajari peribahasa, ah....kalimat-kalimat tak masuk akal itu. Ibu jugalah yang mengajarkan saya puisi, mendorong saya membaca banyak puisi, hingga saat saya berusia 7 tahun, saya sudah mulai tampil di panggung membaca puisi. Saya sih senang-senang saja, tentang pusinya, bukan tampilnya, saya senang menikmati kalimatnya, mengunyahnya perlahan, mencerna rasanya dengan hati.
Jika ada anak lain yang dipanggil-panggil ibunya untuk pulang karena kebanyakan main, saya adalah si anak yang akan disuruh-suruh ibu untuk main di luar. Saya tidak mau, tidak suka, saya lebih baik di rumah dan membaca. Agak memalukan untuk mengakui salah satu buku favorit saya RPUL, traveling kesukaan saya memandangi peta, dan kesenian terbaik saya adalah membaca lirik lagu di sampul kaset. Saya si canggung, yang merasa tidak sama dengan kebanyakan anak. Jangan tanya saya tentang berbagai permainan ketangkasan, saya tau permainan itu ada, tapi saya tidak bisa atau tidak pernah memainkannya.
Sepertinya saya introvert sejak kecil, sifat pemalu yang biasanya membuat saya malu. Karena dulu, entah kenapa anak pemalu itu rasanya seperti aib, guru-guru kurang suka, mereka suka anak yang lincah pemberani, mampu tampil di panggung untuk menyanyi dan menari. Tapi sekarang, entah bagaimana orang sepertinya berlomba-lomba menyatakan diri mereka introvert, yang tidak introvert juga tiba-tiba bilang dia introvert. Apakah kepribadian juga bisa menjadi trend? Si Paling Introvert cenah. Walau saya bingung kok bisa orang introvert berbicara lantang bahwa dirinya introvert?
Saat SMP, guru Bahasa Indonesia pernah memuji saya karena pintar menyadur puisi hingga menjadi cerita, dan ketika SMA, lagi-lagi guru Bahasa Indonesia mengatakan saya memiliki bakat menulis. Besar hatilah saya, bercita-cita menjadi penulis di kemudian hari, yang tidak pernah kesampaian hingga sekarang. Komputer saya dulu penuh dengan cerpen-cerpen atau cerita-cerita sepotong yang tidak saya selesaikan karena saya kehilangan minat. Selain introvert, agaknya saya juga kurang persisten.
Seiring waktu saya mengobati, mengisi, menambal kekosongan ataupun luka batin dengan membaca banyak novel, minimal mengoleksinya. Menulis kian ditinggalkan. Ada masa dimana saya merasa kesepian yang parah tapi tidak saya sadari. Hidup saya riuh, teman-teman, keluarga, pacar, pekerjaan. Tapi entah kenapa ada suatu ruang kosong yang tidak bisa saya jelaskan, yang biasanya saya tambal sesekali dengan menulis, banyak kali dengan membaca.
Bertambah usia dan makin berkaratnya isi kepala ini, kegelisahan-kegelisahan itu entah bagaimana berkurang atau memang menghilang. Keinginan menulis dan membaca pun memudar. Menulis kini hanya sekadar kewajiban pekerjaan, proposal, laporan, itu melulu, seperti masakan asal matang, bukan lagi soal rasa. Membaca pun demikian, mata yang sudah rabun membuat saya makin malas. Lebih tertarik mencoba hal-hal lain, membuat prakarya, baking, atau beres-beres rumah.
Saat jeda literasi itu, saya rasa saya lebih banyak mengamati sekeliling dan melihat dunia berubah, bertumbuh. Saya mendapati ada mereka si paling asik, si paling skena, si paling paham, dengan tawa. Saya makin hobi mengamati dan diam-diam mentertawakan semuanya. Dan muncullah kembali pertanyaan awal saya, apa yang ingin dibuktikan dari menulis dan kenapa saya harus menulis. Untuk gengsi? Terapi? Mengisi waktu? Saya si paling argumentatif? Apa? Kenapa? No reason? Gimme a break! Rasanya tidak masuk akal kalau menjawab, "Ya ingin aja." Tidak. Itu jawaban gen Z. Semua ada alasannya. Walaupun se-tidak masuk akal alasan Freudian sekalipun.
Anyway, agaknya kini saya mulai komersil, hanya mau menulis karena sudah menjadi bagian pekerjaan, bukan lagi soal menghibur diri, atau mungkin memang saya sedang tidak ada rasa gundah, saya sudah merasa cukup tentang hidup.
Sungguh saya masih belum tahu pasti kenapa, cuma yang saya rasa, belum sekarang, belum waktunya. Belum aja. Ha! Siapa si paling gen Z sekarang?
No comments:
Post a Comment