Circa 2011, saya di dalam bus antar kota Sumber Kencono jurusan Solo - Surabaya yang melaju cepat bagaikan Knight Bus-nya Harry Potter. Saya naik dari Yogyakarta menuju Madiun bersama adik lelaki saya. Saat itu, tidak karuan rasa perut saya, mulas karena tegang, juga jantung saya yang malang sedang diuji kekuatannya. Saya melirik ke sebelah kiri, ke arah adik yang duduk di sebelah saya, tetapi dia sedang tersenyum lebar. Dia happy dan merasa terhibur dengan kelakuan supir yang nyetir kesetanan.
Sepotong kejadian sepele yang tidak saya sangka akan menjadi potongan mozaik yang tersimpan dengan sangat rapi dalam memori di kemudian hari, karena biasanya banyak sekali hal yang saya lupa. Rasa antisipasi, rasa yang menggebu karena akan bertemu mereka yang tersayang, di suatu tempat yang memiliki kenangan. Jadi saya rasa antisipasi itulah yang menyebabkan kejadian itu lekat di benak.
Apalagi kini saya tahu, rasa itu tidak mungkin terulang kembali. Adik saya sudah lulus, ibu saya lebih banyak di rumah karena kakinya sudah sakit untuk dipakai bepergian (termasuk ke rumah Mbah), saya bukan lagi perempuan single yang bisa keluyuran seenaknya ke mana saja berlama-lama, terutama Mbah sudah tiada.
Mbah di teras, my forever favorite photo |
Jika Yang Maha Kuasa mengizinkan, saya akan menjadi orang tua yang duduk di beranda, menatap masa lalu dengan rindu, sambil menghirup teh tawar di sore hari. Mungkin inilah yang sedang dirasakan Mbah saat itu, saat saya diam-diam memotret beliau di teras rumahnya di sore hari. Dan ini akan selamanya menjadi foto favorit saya, yang saya bingkai dalam kenangan dan hati saya.
Tuhan, jika waktu itu tiba, saya tidak tahu apa hati saya akan mampu, karena saya sangat payah dalam menanggung rindu.
Tapi izinkan saya, bila saat itu tiba, saya ingin merindu tanpa ragu, dengan senyum terhadap masa lalu.
No comments:
Post a Comment