Tuesday, October 10, 2023

Antisipasi


Circa 2011, saya di dalam bus antar kota Sumber Kencono jurusan Solo - Surabaya yang melaju cepat bagaikan Knight Bus-nya Harry Potter. Saya naik dari Yogyakarta menuju Madiun bersama adik lelaki saya. Saat itu, tidak karuan rasa perut saya, mulas karena tegang, juga jantung saya yang malang sedang diuji kekuatannya. Saya melirik ke sebelah kiri, ke arah adik yang duduk di sebelah saya, tetapi dia sedang tersenyum lebar. Dia happy dan merasa terhibur dengan kelakuan supir yang nyetir kesetanan.

Saya ingat betul suasana saat itu, bus yang melaju kencang, musik menggelegar dari speaker bus, TV dalam bus menampilkan biduan OM Sera sedang berjoget pelan, ditingkahi suara ibu-ibu pedagang asongan yang menjual semangka, kacang, gorengan dalam baskom yang disunggi di kepala mereka. Angin dalam bis juga berhembus cukup kencang karena ada penumpang yang membuka jendela. Juga aroma keringat siang hari dan bau besi serta karat. Saya cuma bisa pasrah, deg-degan tapi juga exciting karena adrenalin yang terpacu. Jika bus terlalu ngebut, sesekali akan ada botol air mineral melayang dari penumpang ke arah supir untuk mengingatkan supir supaya tidak ugal-ugalan. Mungkin bis didesain bisa melaju hingga 200 km/jam, tapi tubuh manusia kan tidak.

Perpaduan rasa itu sungguh sangat segar dalam ingatan. Saya genggam tiket bus erat-erat di tangan, saya senang karena bisa bersama adik saya yang jarang saya jumpai karena dia kala itu sedang kuliah di Jogja, sedangkan saya kerja di Jakarta. Tetapi pekerjaan mengharuskan saya beberapa kali dinas ke Jogja, dan saat seperti itulah saya bisa bertemu adik saya. Rasa senang yang lain adalah saya akan berjumpa Mbah nenek saya, dan Ibu yang kebetulan sedang berada di rumah Mbah.

Sepotong kejadian sepele yang tidak saya sangka akan menjadi potongan mozaik yang tersimpan dengan sangat rapi dalam memori di kemudian hari, karena biasanya banyak sekali hal yang saya lupa. Rasa antisipasi, rasa yang menggebu karena akan bertemu mereka yang tersayang, di suatu tempat yang memiliki kenangan. Jadi saya rasa antisipasi itulah yang menyebabkan kejadian itu lekat di benak. 

Apalagi kini saya tahu, rasa itu tidak mungkin terulang kembali. Adik saya sudah lulus, ibu saya lebih banyak di rumah karena kakinya sudah sakit untuk dipakai bepergian (termasuk ke rumah Mbah), saya bukan lagi perempuan single yang bisa keluyuran seenaknya ke mana saja berlama-lama, terutama Mbah sudah tiada.

Mbah di teras, my forever favorite photo
Belajar dari itu, kini saya selalu berusaha mengecap setiap laju waktu, berlama-lama mencoba menyerap rasanya. Rasa ketika naik angkutan umum, rasa ketika menatap matahari terbenam dari balik gedung bertingkat, rasa lengket polusi, rasa nasi warteg, rasa segala hal kecil yang biasanya saya take it for granted. Saya tahu, cepat atau lambat sang waktu akan mengantarkan rasa-rasa itu menjadi kenangan yang selalu ingin diputar ulang di benak seperti candu, di kemudian hari.

Jika Yang Maha Kuasa mengizinkan, saya akan menjadi orang tua yang duduk di beranda, menatap masa lalu dengan rindu, sambil menghirup teh tawar di sore hari. Mungkin inilah yang sedang dirasakan Mbah saat itu, saat saya diam-diam memotret beliau di teras rumahnya di sore hari. Dan ini akan selamanya menjadi foto favorit saya, yang saya bingkai dalam kenangan dan hati saya.

Tuhan, jika waktu itu tiba, saya tidak tahu apa hati saya akan mampu, karena saya sangat payah dalam menanggung rindu. 

Tapi izinkan saya, bila saat itu tiba, saya ingin merindu tanpa ragu, dengan senyum terhadap masa lalu.




No comments:

Post a Comment