Wednesday, October 3, 2018

Little Things I Thought

Saya tidak ada analisa. Untuk hal-hal substansial yang mungkin memang layak dianalisis, ataupun dikomentari, komentar-komentar cerdas gitulah. Saya tidak bisa menulis sesuatu yang lucu dan menghibur. Saya juga tidak kekinian, in matter fact, saya mudah merasa bosan dengan smartphone, maupun media sosial, sehingga sepertinya tidak ada hal yang keren dan update untuk saya share di blog saya.


Jadi kadang rasanya menjadi tidak signifikan untuk menuliskan sesuatu di blog, saya malah akan mengasihani pembaca yang mungkin entah bagaimana akan terdampar di page ini dan dengan isengnya membaca. Tapi entah bagaimana, once in a blue moon, saya digerogoti rasa untuk menulis sesuatu. Dan itu menyebalkan, seperti semacam gatal yang ingin digaruk.

Dulu ketika saya masih kecil hingga remaja, saya senang menulis, mulai dari puisi, cerpen, artikel2 yang menurut saya intelek, atau curhat2 cemen. Mostly semua hanya berakhir di folder komputer saja, atau kadang-kadang saya tunjukkan pada beberapa teman atau pacar. Saya posesif dengan tulisan saya, saya tidak suka dan tidak siap dikritik, jadi saya pikir saya tidak usah mengungkapkan apapun. Saya rasa, who the hell are you to judge me, judging my thoughts and my writing?


Sebenarnya, setiap hari suka ada saja hal-hal kecil yang hinggap di kepala saya, yang saya renungkan cukup serius. Hal-hal yang bersinggungan dengan cara pikir saya, nilai-nilai, dan hal-hal yang saya nilai berharga. Misal tentang tekanan di grup WA untuk selalu stick to the group dan kalau yang exit group dihujat. Saya merasa WAG sekarang sudah mirip sekte yang akan memberikan hukuman sosial pada yang murtad. Ah wahai para netijen yang mahabenar.

Perasaan luka saya ketika ada yang menghakimi dan menstigma para perempuan dewasa yang masih single, you never knew their stories. I know a lot stories about them. A LOT! And many of those are painful stories. Dan juga, seandainya ini masalah pilihan hidup semata, tidak ada yang salah dan tidak menjadikan mereka devian, dan dianggap abnormalitas. What is normal anyway?

Perasaan duka dan sakit hati saya menyaksikan penyiksaan suporter sepakbola. FOR GOD SAKE! Tidak seorang pun layak diperlakukan seperti itu apapun alasannya. Apalagi alasan seremeh itu. Trus hukuman yang dikasih ke klub juga gitu doang. Rasanya kok mati sia-sia tanpa memberi perubahan berarti pada sistem. Stupid crowd, stupid fanatism and stupid histeria.

Atau dalam setiap beberapa waktu saya merasa mencium bau Almh. nenek saya tersayang, dan saya tiba-tiba diserang kerinduan yang dalam, yang membuat saya ingin mewek tanpa kenal tempat.

Atau ketakutan-ketakutan saya tentang masa depan. Yang saya tahu dihadapi hampir semua orang di dunia ini, yang itu sering membuat saya merasa lebih baik karena saya tahu saya tidak sendirian.

Atau sekadar memikirkan seberapa dalam kerinduan saya terhadap indomie. You know, saya sudah berhenti makan indomie hampir sekitar 1 tahun. Perut saya sudah tidak toleran lagi, pasti sakit selepas menyantap indomie. Yang saya rindukan adalah rasa puasnya makan indomie, tetapi karena saya menyadari bahwa saya sudah tidak merasakan enak itu lagi, ga tau kenapa keinginan itu juga hilang. Jadi bukan rasa indomienya di lidah atau baunya. Yang kalau kata lirik lagu mah bukannya aku takut akan kehilangan dirimu tapi aku takut kehilangan cintamu. Menurut saya, analoginya cukup dekat.

Soo far, cukup sekian dan terima kasih sedikit hal-hal yang terlintas di kepala saya dalam 15 menit proses saya menulis ini. Eh tau ga, ketika saya menulis ini saya sedang mendengarkan lagu Kidung Mesra dari KLa Project, ini backsound musicnya. Dengerinnya pake Yutub, soalnya gatau kenapa Spotifynya lg ngadat ga mau muterin lagu2, tapi ga yakin juga lagu Kidung Mesra ini ada di Spotify.

Gitu aja.

Oh...bentar, ini linknya kalau-kalau mau dengar Kidung Mesra juga.





No comments:

Post a Comment